Advertisement

Apresiasi Puisi Berdasarkan Pendekatan Ekspresif

I. PENGERTIAN PENDEKATAN EKSPRESIF

Pendekatan ekspresif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca (Aminuddin, 1987:42). Sedangkan menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Pendekatan ekspresif disebut juga pendekatan emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair berupaya mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik emosi atau perasaan pembaca. Cara yang digunakan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya melalui gaya (style pengarang).

Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapai (Aminuddin,1945:V)

Gaya (style pengarang) dapat dilihat dari:

1. Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dsb. Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dsb (Pradopo, 1987:22).

Menurut teori simbolisme (Slametmuljana,1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.

Contoh puisi:

LAGU PEKERJA MALAM SEPISAUPI

Goenawan M Sutardji

Lagu pekerja malam sepisau luka sepisau duri

Di sayup-sayup embun sepikul dosa sepikau sepi

Antara dynamo menderam sepisau luka sepisau diri

Pantun demi pantun sepisau sepi sepia nyanyi

Lagu pekerja malam sepisaupa sepisaupi

Lagu padat damai sepisapanya sepikau sepi

Lagu takterucapkan sepisaupa sepisaupi

Jika dukapun usai sepikul diri keranjang duri

Pada puisi Goenawan, LAGU PEKERJA MALAM, menggunakan pola bunyi sebagaimana terdapat di pantun. Hal itu dapat ditemukan antara lain pada panduan bunyi /m/ pada larik lagu pekerja malam, dengan /m/ antara dynamo menderam, dan paduan bunyi /n/ pada larik di sayup-sayup embun dengan /n/ pada larik pantun demi pantun. Goenawan dalam puisi tersebut memang seperti sedang berpantun dan pantun itu mempengaruhi cirri puisi “Lagu Pekerja Malam”. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak mengubah karakteristik teks itu sebagai puisi. Goenawan Muhamad dalam puisinya tersebut mengisahkan para pekerja malam dengan bahasa yang tidak banyak kiasannya. Sedangkan puisi “Sepisaupi”, Sutardji memang bebas memainkan kata-kata. Sutardji memang dalam penciptaan puisinya, membiarkan kata-kata bebas (Waluyo,1987:290). Sutardji dalam puisinya “Sepisaupi” mengembalikan kata-kata pada mantra.

2. Irama

Irama dalam bahasa adalah pargantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur.

Dalam puisi timbulnya irama karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata.

Sesungguhnya, irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum ialah irama yang ttap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.

Dalam puisi indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang tersa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang agak tetap dalam tiap baris baitnya dan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap

Contoh puisi dalam memahami iama, yaitu sajak Sutardji Calzoum Bachri.

MARI

Mari pecahkan botol-botol

Ambil lukanya

Jadikan bunga

Mari pecahkan tik-tok jam

Ambil jarumnya

Jadikan diam

Mari pecahkan pelita

Ambil apinya

Jadikan terang

3. Diksi

Kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa sehingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya disebut diksipuitis (Barfield,1952:41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan mendapatkan nilai estetik.

Untuk ketepatan diksi seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya telah disiarkan (dimuat dalam majalah), sering masih juga diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya. Bahkan ada baris/kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan. Misalnya Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimatnya.

Semangat Aku

Kalau sampai waktuku kalau sampai waktuku

‘Ku tahu tak seorang kan merayu ‘Ku mau tak seorang kan merayu

tidak juga kau tidak juga kau

tak perlu sedu sedan itu! Tak perlu sedu sedan itu

Chairil Anwar mengganti kata “semangat” menjadi “aku” karena kata semangat itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala,dan terasa ada sifat propagandis ataupun rasa yang bombastis, berlebih-lebihan, semangat-semangatan. Sedangkan dalam kata aku itu, terkandung perasaan yang mnunjukkan kepribadian penyair dan semangat individualistisnya. Adapun judul Semangat itu sesungguhnya dulu untuk mengelabuhi sensor yang keras pada zaman Jepang sehingga dengan kata yang berbau propagandis atau sloganis itu, sajak yang sesungguhnya individualistis yang terlarang di zaman Jepang itu, dapat lulus dari sensor. Sedangkan kata Ku tahu ini menunjukkan iperasaan pesimistis, rasa keterpencilan. Bila sajak itu dideklamasikan, maka nadanya rendah dan melankolik. Hal ini tidak sesuai dengan bait-bat selanjutnya yang penuh semangat dan rasa vitalitas yang menyala. Maka dirasa kata itu tidak tepat dan diganti oleh penyair dengan kata Ku mau yang lebih menunjukkan kemauan pribadi yang kuat.

3. Citraan

Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut citraan (imagery). Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Altenbernd,1970:12). Sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaranpikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh pengungkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, syaraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan.

Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut.

1. Citra Penglihatan (visual)

Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya, bisa kita lihat dalam sajak W.S Rendra berikut ini

Ruang diributi jerit dada

Sambal tomat pada mata

Meleleh air racun dosa

2. Citra Pendenmgaran (auditory amagery)

Penyair yang banyak menggunakan citraan ini disebut penyair auditif, misalnya Toto S. Bachtiar

Jenis suara peri mengiang

Hanya lagu orang-orang malang

Dalam pengembaraan di bawah bintang

Mengalir dari tiap sempat celah jendela

3. Citra Perabaan

Puisi Subagio Sastrawardojo: Salju

Kukumu tajam, pacar

Tikamkan dalam-dalam ke kulitku

Biar titik darah

Dan terasa sakit

4. Citra Penciuman

Puisi W.S Rendra

NYANYIAN SUTO UNTUK FATIMAH

Dua puluh tiga matahari

Bangkit dari pundakmu

Tubuhmu menguapkan bau tanah

5. Citra Pencecapan

Puisi Rendra

Ia makan hati dan isi hati

Pada mulut terkunyah duka

6. Citra Gerak (movement atau kinaesthetic imagery)

SENJA DI PELABUHAN KECIL

gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak.

4. Majas

Di kajian puisi, majas dibagi menjadi lima macam seperti di bawah ini.

1. Metafora

Dalam puisi modern bantak kita jumpai metafora yang konvensional. Dalam “Surat Cinta”, Rendra mengiaskan diri kekasihnya sebagai putrid duyung.

Engkaulah putrid duyung/ tawananku/ putrid duyung dengan suara merdu/ lembut bagi angin laut/ mendesahkan bagiku.

2. Perbandingan

Perbandingan dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam sajak. Contohnya adalah puisi karya Subagio Sastrowardoyo

Tetapi istriku terus berbiak/ seperti rumput di pekarangan mereka/ seperti lumut ditembok mereka/ seperti cendawan di roti mereka/ sebab bumi hitam milik mereka

3. Personifikasi

Dalam “Gadis Peminta-minta”, Toto Sudarto Bachtiar menulis personifikasi sebagai berikut

Kotaku jadi hiang tanpa jiwa/ bulan di atas itu tak ada yang punya/ kotaku hidupnya tak lagi punya tanda.

4. Metonimia

Salah satu contoh yang menggunakan sajak yang menggunakan metonimia adalah sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu Kota Senja”

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran/ dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan/ di bawah bayangan istana kejang/ o, kota kekasih setelah senja

5. Alegori

Sajak Sanusi Pane “Teratai” menyimbulkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan, dengan semangat keindonesiaan asli.

Dalam kebun tanah airku

Tumbuh sekuntum bunga teratai;

Tersembunyi kembang indah permai.

Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,

Daun bersemi Laksmi mengarang

Biarpun ia diabaikan orang,

Serodja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o teratai bahagia

Berseri di kebun Indonesia

5. Gaya Bahasa

Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahsa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmuljana,Tt:20).

Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu serta menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.

Sajak-sajak angkatan 45 banyak menggunakan sarana retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut.

KEPADA PEMINTA-MINTA

Janganlagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Dibibirku terasa pedas

Mebgaung ditelingaku.

….

(1959:17)

6. Tipografi

Tipografi merupakan pembada yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun paragraph, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermila dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan baris dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, halmana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Cirri yang demikian menunjukkan eksistensi puisi.

Dalam puisinya “Kuncup”, J.E.Tatengkeng menyusun tpografi yang agak berbeda dari puisi biasa.

KUNCUP

Terlipat Melambai

Terikat, melambai

Engkau mencari engkau beringin

Terang matahari digerak angin

Terhibur

Terlipur

Engkau bermalam

Di pinggir kolam

TREE KUPANGGIL NAMAMU

t Sambil menyeberangi sepi

tt t kupanggili namamu, wanitaku

rrrrrr

rrrrrrrrr Angin pemberontakan

eeeeeeeeee menyerang langit dan bumi

??? Dan dua belas ekor serigala

muncul dari masa silam

merobek-robek hati yang luka

….

W.S Rendra

.

II. LANGKAH-LANGKAH DALAM MENGAPLIKASIKAN PENDEKATAN EKSPRESIF

Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan ekspresif.

1. Menentukan puisi yang akan diapresiasi

Puisi yang akan diapresiasi ditentukan berdasarkan keinginan dan pengetahuan yang kita miliki.

2. Membaca puisi tersebut secara berulang-ulang dan menghayatinya

Dengan membaca puisi secara berulang-ulang pembaca akan dapat memahami dan menghayati makna puisi.

3. Mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya

Dalam mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya, pembaca akan menggunakan pengetahuannya yang berhubungan dengan apresiasi puisi secara ekspresif. Pembaca menandai bagian puisi yang dianggap terdapat keindahan di dalamnya.

4. Mencatat hasil akhir apresiasi puisi berupa simpulan

Hasil dari langkah ketiga ditulis dalam bentuk simpulan, yang di dalamnya harus sesuai dengan analisis pada langkah ketiga.

III. CONTOH-CONTOH PENERAPAN PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM PUISI

Judul puisi yang dipilih untuk diapresiasikan dengan menggunakan pendekatan ekspresif adalah “Padamu Jua” karya Amir Hamzah.

PADAMU JUA

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu-bukan giliranku

Mata hari-bukan kawanku

Hasil analisis puisi:

Habis kikis ® asonansi /i/, irama

Segala cintaku hilang terbang ® sengau, eufoni;irama; metafora

Dua larik ini merupakan hiperbola yang mempertegas

Pulang kembali aku padamu ® asonansi

Seperti dahulu ® asonansi

Segala….seperti dahulu merupakan citra gerak

Kaulah kandil kemerlap ®diksi

Pelita jendela di malam gelap ® asonansi; ulangan memperjelas

Melambai pulang perlahan

Kaulah…pulang perlahan merupakan citra gerak

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa /u/, /a/ asonansi

Rindu rupa diksi dan irama

Tiga baris di atas merupakan ulangan memperjelas dan merupakan citra rabaan dan visual

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Suara….merangkai hati termasuk citra pendengaran

Engkau cemburu ® asonansi; metafora

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu ® irama

Bertukar tangkap dengan lepas ® /a/

Tiga larik di atas merupakan hiperbola yang mempertegas dan termasuk citra gerak yang dikombinasikan dengan citra visual

Nanar aku, gila sasar ® irama

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin® simile

Serupa dara di balik tirai® simile

Engkau… tirai merupakan citra gerak dan visual

Kasihmu sunyi ® personifikasi

Menunggu seorang diri ® /u/

Lalu waktu-bukan giliranku ® irama

Mati hari-bukan kawanku ® irama

Empat baris di atas merupakan ulangan memperjelas

KESIMPULAN

Dari hasil anlisis di atas dapat disimpulkan bahwa sajak Padamu Jua karya Amir Hamzah memiliki keindahan dari segi bunyi, irama, diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan. Sedangkan dari segi tipografinya biasa saja.

Dari bunyi-bunyi yang ditemukan dalam puisi di atas menimbulkan bunyi-bunyi yang merdu dan berirama (eufoni). Bunyi yang merdu itu membentuk suasana yang diwarnai kasih sayang.

Ritme dalam puisi ini ditemukan karena kepadatan dan kesejajaran bunyi dan arti meski sering menyimpang dari kaidah tata bahsa normatif. Seperti berikut: habis kikis (habis terkikis), rindu rasa (merindukan rasa), rindu rupa (merindukan rupa), mati hari (hari yang mati). Bahkan juga kombinasi ini: aku manusia (aku adalah manusia), suara sayup (hanya suara yang sayup-sayup), mangsa aku (memangsa aku). Begitu juga untuk pemadatan sehingga terjadi kalimat-kalimat yang “aneh”, seperti : bertukar tangkap dengan lepas: berganti-ganti antara menangkap dan melepaskan.

Sajak di atas menggunakan kosa kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata seperti kandil : lilin, lampu (mungkin dari candle, kata inggris, atau kandelaar, bahasa belanda); pelita, nanar, sasar, pelik dan dara.

Majas yang digunakan dalam puisi ini berupa majas metafora, perbandingan, dan personifikasi. Metafora: Segala cintaku hilang terbang. Disini cinta itu dikiaskan sebagai burung yang lepas terbang, dengan demikian cinta yang abstrak menjadi konkret. Perbandingan yang mengiaskan pada bait keenam sangat merangsang emosi. Dara di balik tirai itu selalu menarik lelaki, penuh rahasia, menimbulkan keinginan untuk melihat, membangkitkan kegairahan. Persinifikasi pada bait ketujuh, memberi gambaran secara nyata akan kesetiaan engkau terhadap si aku meskipun si aku sering melupakan karena mencari cinta yang lain.

Sarana-sarana retorika yang dikombinasikan utuk memperkuat efek dalam sajak ini pada umumnya mempertegas, disamping membuat liris karena iramanya yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur. Dipergunakan hiperbola, paralelisme, dan penjumlahan yang saling dikombinasikan.

Citra gerak terdapat pada bait kesatu, bait kedua dan bait kelima. Citra gerak pada bait kedua dikombinasikan dengan citra penglihatan, begitu juga pada bait kelima. Citra rabaandan penglihatan ada pada bait keempat. Sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait keempat. Penggunaan itraan memuncak pada bait keenam dan bait ketujuh, yaitukombinasi antara citraan gerak dan visual.

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru.

------- . 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang:IKIP Semarang Press

Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: UGM Press.

Semi, Atar.1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Aoresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

0 komentar:

Leave a Reply

Featured Video

Photos