Advertisement

  • Aspek Sosiologi dan Psikologi dalam Roman Atheis

    PENDAHULUAN

    Menurut Ajip Rosidi (1982), Atheis adalah sebuah roman yang melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi bebrbagai pengaruh dan tantangan zaman. Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orisinil. Sebelumnya tidak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik stuktur maupun persolannya. Flash-back bukan pertama kali digunakan dalam penulisan roman Indonesia. Cara Achdiat mempergunakan flash-back itu sangat menarik. Atheis dibuka dengan suatu adegan “si-aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian “si-aku” mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungannya dengan orang tuanya mencapai krisis. Sesudah itu kembali “si-aku” tentang pengalaman Hasan selanjutnya sampai ia mati ditembak Jepang. Hasan dalam kisah pengalamannya menggunakan gaya-aku pula, sehingga di dalam roman ini ada dua “aku” yaitu “si-aku” pengarang dan “si-aku” Hasan.

    Mengapa buku ini dinamakan Atheis? H. B. Jassin (1949) berpendapat karena memang ceritanya berputar pada ada atau tidak adanya Tuhan. Yang theis betul-betul ialah Raden Wiradikarta dan kiai-kiai. Yang atheis betul-betul adalah Rusli dan Anwar. Lalu Hasan? Hasa yang terombang-ambing lebih celaka dari atheis. Theis yang tulen dia sudah bukan dan ini menyebabkan dia lebih-lebih merasa sebagai atheis meskipun seorang atheis belum menganggapnya sebagai atheis.

    Religiusitas dalam satra Indonesia terlihat dalam roman ini. Roman Atheis membawakan pengalaman religiusitas yang unik. Hasa yang dibesarkan dari keluarga Raden Wiradikarta yang Islam-orthodox, mengalamiperang batin dengan isme-isme modern dari Barat. Tokoh Rusli dalam cerita yang Marxis, maupun Anwar yang anarkhis, selama bergaul dengan tokoh utama dalam roman menjadikan roman yang berbobot dalam sejarah roman dan novel sastra Indonesia.

    SINOPSIS

    Hasan seorang putera pensiunan mantri guru yang bertempat tinggal di kampung Panyeredan, di lereng gunung Telaga Bodas. Raden Wiradikarta, demikian nama ayah Hasan. Sebelum pensiun, Raden Wiradikarta pernah berdinas di daerah Tasikmalaya, Ciamis, Banjor, Tenggarong, dan beberapa tempat kecil yang lain. Ia terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, saleh, dan alim. Dia memang keturunan orang-orang yang kuat imannya. Atas nasihat temannya, Haji Dahlan, ia beserta istrinya berguru ilmu tarekat kepada seorang kiai di Banten. Kehidupan sehari-hari rumah tangganya diwarnai dan bernafaskan ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.

    Sebagai anak satu-satunya yang masih hidup dari keluarga Raden Wiradikarta, Hasa sejak kecil mendapat pendidikan agama secara mendalam. Ibunya selalu melatih Hasa menghafal ayat-ayat Alquran. Oleh karena itulah, ia sejak kecil sudah dapat menghafal syahadat, shalawat, surat Al-Ikhlas, Al-Fatihah, dan sebagainya. Hasan tumbuh menjadi anak yang patuh pada orang tua dan taat kepada agama. Salat dan berpuasa sering dijalankannya. Cerita tentang surga, neraka, dan dosa selalu ia dengar pada saat-saat menjelang tidur, baik dari ibunya maupun dari Siti, pembantunya. Ketika Hasan meningkat dewasa, ia mengikuti jejak orang tuanya untuk memiliki ilmu sareat dan tarekat. Ia berguru ke Banten. Semenjak menganut ajaran mistik, Hasan semakin rajin melakukan ibadat. Sebagai akibatnya, pekerjaan kantornya sering terbengkalai. Dari teman-teman sekantornya ia mendapat gelar ”Pak Kiai”. Selain dari itu, kesehatan badannya tidak pernah diperhatikan, bahkan hidupnya dikendalikan oleh hal-hal yang tidak rasional, misalnya ia pernah mandi 40 kali semalam, tanpa menggunakan handuk sebagai pengering badannya. Tidak mustahil apabila akhirnya ia terkena penyakit tbc. Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam terus-menerus dan selama tiga hari tiga malam mengunci diri di dalam kamar tanap makan, minum, dan tidur. Iman yang tampaknya kuat, yang tidak disertai oleh kesadaran yang tinggi dan diimbangi oleh pengetahuan serta pengalaman hidup yang luas ternyata tidak dapat bertahan terhadap segala pergolakan, perkembangan hidup dalam masyarakat. Hasan sebagai produk dari pendidikan lingkungan masyarakat agama yang tertutup, fanatik, ia berkembang menjadi manusia yang fanatik, sempit pandangan hidup, dan kurang pengalaman. Ia melihat segala macam kehidupan dalam masyarakat dengan menggunakan ukuran-ukuran kaca mata ajaran agama. Hal ini sangat membatasi gerak dan wataknya sehingga ia kurang memahami masalah-masalah kehiduopan yang sebenarnya.

    Kehadiran Rusli dan Kartini dalam kehidupan Hasan bagaikan badai yang melanda pohon talas. Walaupun tidak sampai tumbang, condonglah pohon yang tiada berakar tunggang itu, sejak tiupan pertama. Hasan yang telah biasa hidup dalam keadaan atau situasi yang mistis, Rusli dan Kartini yang menurut penglihatannya menarik, baik mengenai cara berpakaiannya, sikap pergaulan maupun ilmu pengetahuannya, bahkan sampai pada ideologi yang dianutnya. Semua serba menarik karena dianggap hal yang baru dan ditemuinya dalam suasana yang romantis. Hasan jatuh cinta kepada Kartini karena Kartini mirip sekali dengan Rukmini bekas pacarnya. Ia menginginkan hidup di samping Kartini dalam satu rumah tangga yang berbahagia. Rasa cinta itu;ah yang memupuk kelemahan Hasan dan merupakan awal dari segala perubahan dalam hidupnya. Ia berusaha menyenangkan dan menarik hati Kartini bahkan ia rela mengorbankan segala-galanya. Imannya luntur, hubungan dengan orang tuanya menjadi putus.

    Hanyutlah Hasan dalam kehidupan yang dianut oleh Kartini dan kawan-kawannya: modern, bebas, dan berdasarkan paham Marxis.

    Walaupun diketahui banyak tingkah laku Kartini yang sebenarnya bertentangan dengan jaran agama Islam, Hasan tetap mencintainya. Semua gerak-gerik, tingkah laku Kartini diterima dengan senang, dengan harapan agar Kartini tetap dekat dengannya.

    Di tengah kembang-kempisnya harapan Hasan untuk hidup bersama denag nKartini, muncullah Anwar yang mencoba-coba menaruh hati juga kepada Kartini. Perasaan cemburu Hasan mendorongnya untuk menutupi segala kelemahannya. Kini tidak ada hal yang dianggap pantangan lagi oleh Hasan, seperti bioskop, makan masakan Cina, bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya, mengikuti pertemuan yang memperdalam Marxisme, bahkan menyangkal adanya Tuhan.

    Kartini ditinggal mati oleh suaminya adalah seorang janda yang mendampingi kasih sayang seorang suami. Bagi dia Rusli bukanlah pria yang menjadi harapannya karena Rusli menyerhkan hidupnya untuk kepentingan politik. Demikian pula Anwar tidak menarik baginya, sedangkan Hasan laki-alki yang polos, mencurahkan kasih sayangnya dengan sepenuh hatinya dan mendapat sambutan baik dari Kartini. Akhirnya mereka kawin. Hidup bersama dilaksanakan di rumah Kartini.

    Perkawinan mereka ternyata tidak membuahkan kebahagiaan seperti yang mereka dambakan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebasnya, pergi tanpa suaminya. Ia memperdalam perassan cemburu Hasan kepadanya. Di samping itu, Hasan selau dihantui oleh larangan ayahnya untuk tidak kawin dengan Kartini dan diharapkan kawin dengan Fatimah.

    Pada suatu hari terjadilah pertengkaran, yaitu ketika Hasan menunggu-nunggu kedatangan Kartini; Kartini datang bersama-sama denga nAnwar. Memuncaklah marah Hasan, dan Kartini ditempelengi; terjadilah perpisahan.

    Sejak terjadi pertengkaran itu Kartini meninggalkan rumahnya. Ia pergi tanpa tujuan. Di jalan ia bertemu dengan Anwar. Atas bujukan Anwar, Kartini mau diajak bermalam di suatu hotel bersama-sama dengan Anwar. Karena Anwar berusaha untuk memperkosanya, Kartini lari dari penginapan itu dengan meneruskan perjalanannya ke Kebon Manggu.

    Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Hsan akhirnya ingat kembali pada ajaran agama yang pernah diberikan oleh orang tuanya. Dia menyesal atas kelalaiannya selama ini, ia mengutuki teman-temannya yang telah membawanya ke jalan yang sesat, jalan yang menyimpang dari agamanya, bahkan jalan yang bertentangan dengan agama. Dia insaf dan sadar, ia berusaha kembali ke jalan hidup semula, hidup dengan berpedang pada ajaran agama Islam.

    Mendengar kabar bahwa ayahnya sedang sakit parah, Hasan pulang menjenguknya. Ia bertemu dengan ayahnya yang sudah dalam keadaan payah. Dalam keadaan yang sudah kritis, menjelang ajalnya, ayahmya masih sempat mengusir Hasan yang menungguinya supaya tidak berada di dekatnya. Setelah Hasan keluar dari kamar tidur, ayahnya meninggal denagn tenang. Sejak itu, Hasan telah kehilangan segal-galanya, istrinya, ayahnya, dan hari depannya bahkan tujuan hidupnya.

    Ketika pulang ke Bandung, ke rumah Kartini, terjadilah kusukeiho. Ia terpaksa harus mencari tempat berlindung. Ia berlindung di suatu lubang perlindungan bersama-sama denag orang-orang yang senasib. Di tempat perlindungan itulah terngiang-ngiang suara ayahnya di hatinya, suara ayng menasihati, memarahi, mengutuk-ngutuk perbuatannyayang telah menyimpang dari ajraan agama Islam. Hal ini membuka hatinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan lagi. Sementara itu, Hasan yang telah diserang penyakit tbc makin parah. Penyakit tbc-nya kambuh; ia merasa tak kuat melanjutkan perjalanan, dan mencari penginapan yang terdekat untuk beristirahat.

    Dari daftar tamu di penginapan, tempat ia akan bersitirahat, ditemukan nama Kartini dan Anwar. Ia teringat pada saat Kartini pergi dari rumahnya. Setelah mendapat penjelasan dari pelayan hotel dan mengetahui suasana di situ, Hasan yakin bahwa Kartini telah berbuat serong dengan Anwar. Meledaklah amarahnya, ia lari keluar pada malam gelap untuk membalas dendam. Sementara itu, serene mengaung-ngaung tanda ada bahaya. Semua lampu dimatikan, setiap orang mencari perlindungan. Hasan sudah gelap mata, tidak menghiraukan lagi tanda bahaya, lari terus. Akhirnya, ia ditembak tentara Jepang karena disangka mata-mata musuh dan dibawa ke markas Ken Peitai. Ketika Kartini berusaha menemuinya, mereka memperoleh berita bahwa Hasan telah meninggal beberapa menit yang lalu. Mungkin Hasan yang sudah menderita tbc itu tidak tahan atas siksaan Ken Peitai.

    ASPEK SOSIOLOGI DALAM ATHEIS

    Latar Belakang Sosial Budaya

    Ditinjau dari sosial budaya pada hakikatnya novel Atheis menyuguhkan dua macam anggota masyarakat yang memiliki latar belakang lingkungan hidup yang berlainan, yaitu kelompok antarhubungan langsung (keluarga, para tetangga kampung, persekutuan hidup kecil) dan kelompok dengan antarhubungan tidak langsung (persekutuan hidup besar, serikat buruh, dan serikat majikan).

    Dalam roman Atheis, keluarga Raden Wiradikarta, khususnya Hasa mengambarkan kelompok dengan antarhubungan langsung atau kelompok masyarakat yang tertutup. Gambaran lingkunagn hidup mereka sebagai berikut:

    Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeru kGarut, yang segar dan subur tumbuhnya bertanah dan bahwa yang nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah besar dan kecil. Ynag kecil, yang jauh lebih besar jumlahnya dari yang besar, adalah kepunyaan buruh-buruh tani yang miskin dan yang besar ialah milik petani-petani “kaya” (artinya yang mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektar) yang di samping bertani, bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk dan hasil bumi lainnya. Di antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besaar dari batu itu, ada lagi beberapa rumah yang dibikin dari “setengah batu” artinya lantainya dari tegel tapi dindingnya hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedang ke atasnya dari dinding bambu biasa. (hal 16)

    Sebagai anggota masyarakat kampung yang berkeadaan serba sederhana seperti terlukis pada kutipan itu mereka memiliki kemungkinan besar untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya terutama bidang religius. Diceritakan (1926:16) “ Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil jalan hidup ditempuhnya dengan tasbih dan mukena.” Mereka merasa belum cukup dengan patuh menjalankan ajaran agama yang mengandung kewajiban sehari-hari. Seluruh hidupnya dipusatkan pada kehidupan beragama. Mereka berguru keapda seorang Kiai di Banten untuk menjadi mistikus. “ Sebulan kemudian ayahnya memecahkan celengannya dan dengan uang yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke Bnaten bersama-sama ibu.” (hal 19)

    Corak kehidupan keluarga dan lingkungannya mewarnai pendidikan yang diterima Hasan. Sejak berumur lima tahun, Hasan memperoleh pendidkan agama yang fanatik. Dengan kacamata ajaran agama yang fanatik banyak ahal uang dianggapnya tabu. Hasan menjadi orang yang sempit pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Tingkah laku Hasn pun tertuju ke arah tercapainya kebutuhan hidup di alam baka, seperti pengakuan Hasan.

    Dulu tak ada paduka kegiatan untuk mencari kemajuan di lapangan hidup di dunia yang fana ini. Segala langkah hidupku ditujukan semata-mata ke arah hidup di dunia yang baka, di alam akhirat. (hal 129)

    Dengan demikian, jelaslah keadaan sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan keluarga Raden Wiradikarta, khususnya Hasan, yaitu kehiudpan sosial budaya tradisional religius. Sebagai aggota kelompok masyarakat tertutup dengan latar belakang sosial budaya seperti itu, ternyata Hasan (keluarga Raden Wiradikarta) tidak mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan arus modernisasi.

    Di pihak lain Rusli, Kartini, dan Anwar merupakan kelompok dengan antarhubungan tidak langsung atau kelompok masyarakat terbuka. Perhatikan riwayat hidup Rusli berikut ini:

    Empat tahun Rusli hidup di Singapura. Dan selaam empat tahun itu ia banyak belajar tentang soal-soal politik. Bukan hanya dengan jalan membaca buku-buku politik saja, akan tetapi juga banyak bergaul dengan orang-orang pergerakan internasional. Pergaulan semcam itu mudah sekali dijalankan di suatu kota “Internasioanl” seperti Singapura. Macam-macam aliran dan stelsel, serta ideologi-idelogi politik dipelajarinya dengan sungguh-sungguh, terutama sekali ideologi Marxisme.” (hal 36)

    Dri Singapura Rusli pindah ke Palembang. Di sana ia sambil berdagang, banyak menulis surat-surat kabar dengan memakai nama samaran. Kemudian ia pindah ke Jakrta, dan pada akhirnya pindah ke kota Bandung. (hal 36)

    Dari kutipan-kutipan yang telah dikemukakan dapat diketahui latar belakang sosial budaya diri Rusli. Sebagai anggota masyarakat yang terbuka tampak Rusli telah berada dalam tingkat kebudayaan modern. Dia memilih politik menjadi sarana untuk ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan. Jelas pula kiranya, tingkah laku Rusli diarahkan ke kepuasan hidup di alam fana ini. Akibat dari sosial budaya moern yang menjadi latar belakang hidupnya, maka tidak ada kesulitan pada diri Rusli untuk menyesuaikan diri dengan arus modernisasi.

    Dari kelompok masyarakat terbuka diceritakan pula adanya individu yang salah sikap dalam menerima pengaruh kebudayaan modern. Salah satu contoh adalah penampilan diri Karetini. Diceritakan bahwa pengaruh kebudayaan modern meresap jau dalam kehidupan Kartini. Tidak hanya itu pengaruh kebudayaan modern pada diri Kartini. Bagi Kartini, yang kebetulan sedang mengalami keresahan akibat kematian suaminya dan campur tangan pihak keluarga suaminya, pengaruh modern yang dibawa oleh Rusli diterimanya tanpa seleksi. Kartini kehilangan pribadi sebagai orang Indonesia, orang Jawa. Pergaulan bebas tidak asing lagi baginya. Pernah ia berjalan sendiri pada tengah malam di daerah perempuan jalang. Sudah barang tentu sikap Kartini ini minimal menimbulkancitra bahwa Kartini seorang perempuan yang tidak baik.

    ASPEK PSIKOLOGI DALAM ATHEIS

    Kegoncangan kepercayaan dialami Hasan karena tidak bisa memilih pendirian yang beanr. Cara Rusli berbicara, mengmeukakan pendapatnya yang ramah, dan simpatik memperoleh sukses, medapat tempat di hati Hasan. Ia merasa menajdi manusia baru. Karena imannya yang telah goncang, ia tidak lagi merasa sebagai teis yang tulen, tetapi lebih merasa sebagai atheis meskipun Rusli dan Anwar belum menganggapnya sebagai atheis. Setelah memasuki dunia atheis kegoncangan kepercayaan yang dideritanya berkembang menjadi konflik kejiwaan. Konflik itu muncul semenjak ia mulai kenal dengan Kartini. Hasan yang tadinya berkeyakinan mistik dengan pembatasan pergaulan, merasa kaget dengan kenyataan hidup modern, bebas lepas yang diperlihatkan Kartini yang kemudian dikawininya.

    Konflik kejiwaan Hasan meningkat klimaksnya denga nterjadinya pertengkaran antara Hasan dengan ayahnya. Konflik kejiwaan belum berakhir sampi disitu, konflik kejiwaan berjalan terus pula setelah perkawinan Hasan-Kartini. Perkawinan yang pada hakikatnya hasil pendurhakaan Hasan terhadap tradisi orang tuanya. Ia diburu-buru oleh perasaab menyesal dan kutukan orang tuanya menghantui perkawinannya. Perkawinan Hasan-Kartini yang semula merupakan klimaks pembangkangan Hasan, disusul oleh antiklimaks meninggalnya Raden Wiradikarta, yang meninggalkan kutukan atas diri Hasan. Meskipun Hasan samapi merangkak minta ampun sebelum ajal merenggut jiwa ayahnya. Namun, ayahnya yang kecewa tidak memberi ampun kepada Hasan. Sebaliknya kutukan terhadap Hasan suatu pukulan mental yang amat parah akibatnya bagi jiwa dan fisik Hasan. “ Janganlah engaku dekat-dekat kepadaku … janganlah kau ganggu aku dalam imanku, agar mudah ku tempuh perjalananku ke hadirat-Nya ….” (hal 219)

    DAFTAR RUJUKAN

    Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra.

    Bandung: Sinar Baru.

    Jassin, H. B. . Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei II. Jakarta:

    PT Gramedia.

    Kusdiratin, dkk. 1978. Memahami Novel Atheis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

    Pengembangan Bahasa.

    Ratna, Kutha Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar.

    Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

    Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra, Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu

    Media dan UMM Press.

    more
  • Apresiasi Puisi Berdasarkan Pendekatan Ekspresif

    I. PENGERTIAN PENDEKATAN EKSPRESIF

    Pendekatan ekspresif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca (Aminuddin, 1987:42). Sedangkan menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Pendekatan ekspresif disebut juga pendekatan emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair berupaya mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik emosi atau perasaan pembaca. Cara yang digunakan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya melalui gaya (style pengarang).

    Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapai (Aminuddin,1945:V)

    Gaya (style pengarang) dapat dilihat dari:

    1. Bunyi

    Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dsb. Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dsb (Pradopo, 1987:22).

    Menurut teori simbolisme (Slametmuljana,1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.

    Contoh puisi:

    LAGU PEKERJA MALAM SEPISAUPI

    Goenawan M Sutardji

    Lagu pekerja malam sepisau luka sepisau duri

    Di sayup-sayup embun sepikul dosa sepikau sepi

    Antara dynamo menderam sepisau luka sepisau diri

    Pantun demi pantun sepisau sepi sepia nyanyi

    Lagu pekerja malam sepisaupa sepisaupi

    Lagu padat damai sepisapanya sepikau sepi

    Lagu takterucapkan sepisaupa sepisaupi

    Jika dukapun usai sepikul diri keranjang duri

    Pada puisi Goenawan, LAGU PEKERJA MALAM, menggunakan pola bunyi sebagaimana terdapat di pantun. Hal itu dapat ditemukan antara lain pada panduan bunyi /m/ pada larik lagu pekerja malam, dengan /m/ antara dynamo menderam, dan paduan bunyi /n/ pada larik di sayup-sayup embun dengan /n/ pada larik pantun demi pantun. Goenawan dalam puisi tersebut memang seperti sedang berpantun dan pantun itu mempengaruhi cirri puisi “Lagu Pekerja Malam”. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak mengubah karakteristik teks itu sebagai puisi. Goenawan Muhamad dalam puisinya tersebut mengisahkan para pekerja malam dengan bahasa yang tidak banyak kiasannya. Sedangkan puisi “Sepisaupi”, Sutardji memang bebas memainkan kata-kata. Sutardji memang dalam penciptaan puisinya, membiarkan kata-kata bebas (Waluyo,1987:290). Sutardji dalam puisinya “Sepisaupi” mengembalikan kata-kata pada mantra.

    2. Irama

    Irama dalam bahasa adalah pargantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur.

    Dalam puisi timbulnya irama karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata.

    Sesungguhnya, irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum ialah irama yang ttap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.

    Dalam puisi indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang tersa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang agak tetap dalam tiap baris baitnya dan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap

    Contoh puisi dalam memahami iama, yaitu sajak Sutardji Calzoum Bachri.

    MARI

    Mari pecahkan botol-botol

    Ambil lukanya

    Jadikan bunga

    Mari pecahkan tik-tok jam

    Ambil jarumnya

    Jadikan diam

    Mari pecahkan pelita

    Ambil apinya

    Jadikan terang

    3. Diksi

    Kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa sehingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya disebut diksipuitis (Barfield,1952:41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan mendapatkan nilai estetik.

    Untuk ketepatan diksi seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya telah disiarkan (dimuat dalam majalah), sering masih juga diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya. Bahkan ada baris/kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan. Misalnya Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimatnya.

    Semangat Aku

    Kalau sampai waktuku kalau sampai waktuku

    ‘Ku tahu tak seorang kan merayu ‘Ku mau tak seorang kan merayu

    tidak juga kau tidak juga kau

    tak perlu sedu sedan itu! Tak perlu sedu sedan itu

    Chairil Anwar mengganti kata “semangat” menjadi “aku” karena kata semangat itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala,dan terasa ada sifat propagandis ataupun rasa yang bombastis, berlebih-lebihan, semangat-semangatan. Sedangkan dalam kata aku itu, terkandung perasaan yang mnunjukkan kepribadian penyair dan semangat individualistisnya. Adapun judul Semangat itu sesungguhnya dulu untuk mengelabuhi sensor yang keras pada zaman Jepang sehingga dengan kata yang berbau propagandis atau sloganis itu, sajak yang sesungguhnya individualistis yang terlarang di zaman Jepang itu, dapat lulus dari sensor. Sedangkan kata Ku tahu ini menunjukkan iperasaan pesimistis, rasa keterpencilan. Bila sajak itu dideklamasikan, maka nadanya rendah dan melankolik. Hal ini tidak sesuai dengan bait-bat selanjutnya yang penuh semangat dan rasa vitalitas yang menyala. Maka dirasa kata itu tidak tepat dan diganti oleh penyair dengan kata Ku mau yang lebih menunjukkan kemauan pribadi yang kuat.

    3. Citraan

    Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut citraan (imagery). Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Altenbernd,1970:12). Sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaranpikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh pengungkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, syaraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan.

    Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut.

    1. Citra Penglihatan (visual)

    Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya, bisa kita lihat dalam sajak W.S Rendra berikut ini

    Ruang diributi jerit dada

    Sambal tomat pada mata

    Meleleh air racun dosa

    2. Citra Pendenmgaran (auditory amagery)

    Penyair yang banyak menggunakan citraan ini disebut penyair auditif, misalnya Toto S. Bachtiar

    Jenis suara peri mengiang

    Hanya lagu orang-orang malang

    Dalam pengembaraan di bawah bintang

    Mengalir dari tiap sempat celah jendela

    3. Citra Perabaan

    Puisi Subagio Sastrawardojo: Salju

    Kukumu tajam, pacar

    Tikamkan dalam-dalam ke kulitku

    Biar titik darah

    Dan terasa sakit

    4. Citra Penciuman

    Puisi W.S Rendra

    NYANYIAN SUTO UNTUK FATIMAH

    Dua puluh tiga matahari

    Bangkit dari pundakmu

    Tubuhmu menguapkan bau tanah

    5. Citra Pencecapan

    Puisi Rendra

    Ia makan hati dan isi hati

    Pada mulut terkunyah duka

    6. Citra Gerak (movement atau kinaesthetic imagery)

    SENJA DI PELABUHAN KECIL

    gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

    menyinggung muram, desir hari lari berenang

    menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

    dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak.

    4. Majas

    Di kajian puisi, majas dibagi menjadi lima macam seperti di bawah ini.

    1. Metafora

    Dalam puisi modern bantak kita jumpai metafora yang konvensional. Dalam “Surat Cinta”, Rendra mengiaskan diri kekasihnya sebagai putrid duyung.

    Engkaulah putrid duyung/ tawananku/ putrid duyung dengan suara merdu/ lembut bagi angin laut/ mendesahkan bagiku.

    2. Perbandingan

    Perbandingan dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam sajak. Contohnya adalah puisi karya Subagio Sastrowardoyo

    Tetapi istriku terus berbiak/ seperti rumput di pekarangan mereka/ seperti lumut ditembok mereka/ seperti cendawan di roti mereka/ sebab bumi hitam milik mereka

    3. Personifikasi

    Dalam “Gadis Peminta-minta”, Toto Sudarto Bachtiar menulis personifikasi sebagai berikut

    Kotaku jadi hiang tanpa jiwa/ bulan di atas itu tak ada yang punya/ kotaku hidupnya tak lagi punya tanda.

    4. Metonimia

    Salah satu contoh yang menggunakan sajak yang menggunakan metonimia adalah sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu Kota Senja”

    Klakson dan lonceng bunyi bergiliran/ dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan/ di bawah bayangan istana kejang/ o, kota kekasih setelah senja

    5. Alegori

    Sajak Sanusi Pane “Teratai” menyimbulkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan, dengan semangat keindonesiaan asli.

    Dalam kebun tanah airku

    Tumbuh sekuntum bunga teratai;

    Tersembunyi kembang indah permai.

    Tidak terlihat orang yang lalu.

    Akarnya tumbuh di hati dunia,

    Daun bersemi Laksmi mengarang

    Biarpun ia diabaikan orang,

    Serodja kembang gemilang mulia.

    Teruslah, o teratai bahagia

    Berseri di kebun Indonesia

    5. Gaya Bahasa

    Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahsa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmuljana,Tt:20).

    Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu serta menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.

    Sajak-sajak angkatan 45 banyak menggunakan sarana retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut.

    KEPADA PEMINTA-MINTA

    Janganlagi kau bercerita

    Sudah tercacar semua di muka

    Nanah meleleh dari muka

    Sambil berjalan kau usap juga.

    Bersuara tiap kau melangkah

    Mengerang tiap kau memandang

    Menetes dari suasana kau datang

    Sembarang kau merebah.

    Mengganggu dalam mimpiku

    Menghempas aku di bumi keras

    Dibibirku terasa pedas

    Mebgaung ditelingaku.

    ….

    (1959:17)

    6. Tipografi

    Tipografi merupakan pembada yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun paragraph, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermila dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan baris dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, halmana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Cirri yang demikian menunjukkan eksistensi puisi.

    Dalam puisinya “Kuncup”, J.E.Tatengkeng menyusun tpografi yang agak berbeda dari puisi biasa.

    KUNCUP

    Terlipat Melambai

    Terikat, melambai

    Engkau mencari engkau beringin

    Terang matahari digerak angin

    Terhibur

    Terlipur

    Engkau bermalam

    Di pinggir kolam

    TREE KUPANGGIL NAMAMU

    t Sambil menyeberangi sepi

    tt t kupanggili namamu, wanitaku

    rrrrrr

    rrrrrrrrr Angin pemberontakan

    eeeeeeeeee menyerang langit dan bumi

    ??? Dan dua belas ekor serigala

    muncul dari masa silam

    merobek-robek hati yang luka

    ….

    W.S Rendra

    .

    II. LANGKAH-LANGKAH DALAM MENGAPLIKASIKAN PENDEKATAN EKSPRESIF

    Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan ekspresif.

    1. Menentukan puisi yang akan diapresiasi

    Puisi yang akan diapresiasi ditentukan berdasarkan keinginan dan pengetahuan yang kita miliki.

    2. Membaca puisi tersebut secara berulang-ulang dan menghayatinya

    Dengan membaca puisi secara berulang-ulang pembaca akan dapat memahami dan menghayati makna puisi.

    3. Mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya

    Dalam mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya, pembaca akan menggunakan pengetahuannya yang berhubungan dengan apresiasi puisi secara ekspresif. Pembaca menandai bagian puisi yang dianggap terdapat keindahan di dalamnya.

    4. Mencatat hasil akhir apresiasi puisi berupa simpulan

    Hasil dari langkah ketiga ditulis dalam bentuk simpulan, yang di dalamnya harus sesuai dengan analisis pada langkah ketiga.

    III. CONTOH-CONTOH PENERAPAN PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM PUISI

    Judul puisi yang dipilih untuk diapresiasikan dengan menggunakan pendekatan ekspresif adalah “Padamu Jua” karya Amir Hamzah.

    PADAMU JUA

    Habis kikis

    Segala cintaku hilang terbang

    Pulang kembali aku padamu

    Seperti dahulu

    Kaulah kandil kemerlap

    Pelita jendela di malam gelap

    Melambai pulang perlahan

    Sabar, setia selalu

    Satu kekasihku

    Aku manusia

    Rindu rasa

    Rindu rupa

    Di mana engkau

    Rupa tiada

    Suara sayup

    Hanya kata merangkai hati

    Engkau cemburu

    Engkau ganas

    Mangsa aku dalam cakarmu

    Bertukar tangkap dengan lepas

    Nanar aku, gila sasar

    Sayang berulang padamu jua

    Engkau pelik menarik ingin

    Serupa dara di balik tirai

    Kasihmu sunyi

    Menunggu seorang diri

    Lalu waktu-bukan giliranku

    Mata hari-bukan kawanku

    Hasil analisis puisi:

    Habis kikis ® asonansi /i/, irama

    Segala cintaku hilang terbang ® sengau, eufoni;irama; metafora

    Dua larik ini merupakan hiperbola yang mempertegas

    Pulang kembali aku padamu ® asonansi

    Seperti dahulu ® asonansi

    Segala….seperti dahulu merupakan citra gerak

    Kaulah kandil kemerlap ®diksi

    Pelita jendela di malam gelap ® asonansi; ulangan memperjelas

    Melambai pulang perlahan

    Kaulah…pulang perlahan merupakan citra gerak

    Sabar, setia selalu

    Satu kekasihku

    Aku manusia

    Rindu rasa /u/, /a/ asonansi

    Rindu rupa diksi dan irama

    Tiga baris di atas merupakan ulangan memperjelas dan merupakan citra rabaan dan visual

    Di mana engkau

    Rupa tiada

    Suara sayup

    Hanya kata merangkai hati

    Suara….merangkai hati termasuk citra pendengaran

    Engkau cemburu ® asonansi; metafora

    Engkau ganas

    Mangsa aku dalam cakarmu ® irama

    Bertukar tangkap dengan lepas ® /a/

    Tiga larik di atas merupakan hiperbola yang mempertegas dan termasuk citra gerak yang dikombinasikan dengan citra visual

    Nanar aku, gila sasar ® irama

    Sayang berulang padamu jua

    Engkau pelik menarik ingin® simile

    Serupa dara di balik tirai® simile

    Engkau… tirai merupakan citra gerak dan visual

    Kasihmu sunyi ® personifikasi

    Menunggu seorang diri ® /u/

    Lalu waktu-bukan giliranku ® irama

    Mati hari-bukan kawanku ® irama

    Empat baris di atas merupakan ulangan memperjelas

    KESIMPULAN

    Dari hasil anlisis di atas dapat disimpulkan bahwa sajak Padamu Jua karya Amir Hamzah memiliki keindahan dari segi bunyi, irama, diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan. Sedangkan dari segi tipografinya biasa saja.

    Dari bunyi-bunyi yang ditemukan dalam puisi di atas menimbulkan bunyi-bunyi yang merdu dan berirama (eufoni). Bunyi yang merdu itu membentuk suasana yang diwarnai kasih sayang.

    Ritme dalam puisi ini ditemukan karena kepadatan dan kesejajaran bunyi dan arti meski sering menyimpang dari kaidah tata bahsa normatif. Seperti berikut: habis kikis (habis terkikis), rindu rasa (merindukan rasa), rindu rupa (merindukan rupa), mati hari (hari yang mati). Bahkan juga kombinasi ini: aku manusia (aku adalah manusia), suara sayup (hanya suara yang sayup-sayup), mangsa aku (memangsa aku). Begitu juga untuk pemadatan sehingga terjadi kalimat-kalimat yang “aneh”, seperti : bertukar tangkap dengan lepas: berganti-ganti antara menangkap dan melepaskan.

    Sajak di atas menggunakan kosa kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata seperti kandil : lilin, lampu (mungkin dari candle, kata inggris, atau kandelaar, bahasa belanda); pelita, nanar, sasar, pelik dan dara.

    Majas yang digunakan dalam puisi ini berupa majas metafora, perbandingan, dan personifikasi. Metafora: Segala cintaku hilang terbang. Disini cinta itu dikiaskan sebagai burung yang lepas terbang, dengan demikian cinta yang abstrak menjadi konkret. Perbandingan yang mengiaskan pada bait keenam sangat merangsang emosi. Dara di balik tirai itu selalu menarik lelaki, penuh rahasia, menimbulkan keinginan untuk melihat, membangkitkan kegairahan. Persinifikasi pada bait ketujuh, memberi gambaran secara nyata akan kesetiaan engkau terhadap si aku meskipun si aku sering melupakan karena mencari cinta yang lain.

    Sarana-sarana retorika yang dikombinasikan utuk memperkuat efek dalam sajak ini pada umumnya mempertegas, disamping membuat liris karena iramanya yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur. Dipergunakan hiperbola, paralelisme, dan penjumlahan yang saling dikombinasikan.

    Citra gerak terdapat pada bait kesatu, bait kedua dan bait kelima. Citra gerak pada bait kedua dikombinasikan dengan citra penglihatan, begitu juga pada bait kelima. Citra rabaandan penglihatan ada pada bait keempat. Sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait keempat. Penggunaan itraan memuncak pada bait keenam dan bait ketujuh, yaitukombinasi antara citraan gerak dan visual.

    DAFTAR RUJUKAN

    Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru.

    ------- . 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang:IKIP Semarang Press

    Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: UGM Press.

    Semi, Atar.1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

    Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Aoresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

    more

Featured Video

Photos